Sejarah Pascasarjana

     Memasuki millenium ketiga, dunia dihadapkan pada berbagai permasalahan kemanusiaan yang semakin komplek. Konflik antar negara, agama, etnis hingga rendahnya moralitas manusia menjadi fenomena umum di hampir seluruh dunia. Fenomena yang sama terjadi di Indonesia, dengan maraknya berbagai aksi kerusuhan dan tindakan-tindakan melawan hukum yang ditandai dengan melemahnya kesadaran hukum. Seolah-olah negara kepulauan yang bernama Nusantara ini tidak memiliki perangkat hukum yang mampu mengatur pluralitas bangsa secara harmonis. Menilik realitas ini, maka pengkajian masalah kemanusiaan, khususnya bidang hukum menjadi sangat urgen dan mendesak dilakukan. Setiap individu dan institusi yang concern terhadap nasib bangsa ini seyogyanya turut memikirkan, mempersiapkan dan mengambil langkah-langkah positif yang aktif dan konstruktif. Semuanya ini kemudian diarahkan kepada terciptanya suatu masyarakat madani yang berdiri di atas bangunan hukum dan demokrasi yang kokoh dan dinamis.

     Permasalahan lain yang menerpa masyarakat adalah krisis kepercayan diri, seolah  bangsa ini tidak mampu menghadirkan peradaban yang tinggi dan kreasi inovatif untuk bersaing di kancah internasional. Ini terlihat dengan masih dominannya pekerja-pekerja dan perusahaan-perusahaan asing yang mengolah sumber daya alam Nusantara yang sedemikian melimpah ruah. Kenyataan ini cukup mengusik, terutama dengan trend tenaga kerja di negeri ini yang lebih memilih untuk bekerja di luar negeri sebagai pekerja rumah tangga, pekerja pertanian, dan bahkan tenaga pendidik. Keadaan ini tentunya menggiring masyarakat kepada kondisi rapuhnya identitas dan lemahnya kepercayaan diri yang berpotensi menggerus ketahanan ekonomi dan politik, tak terkecuali di wilayah Sumatera Barat.

     Banyak cara yang dapat ditempuh untuk dapat keluar dari krisis dan tantangan-tantangan ini, salah satunya adalah dengan memperkokoh bangunan ilmu pengetahuan melalui pendidikan formal strata dua atau program magister. Bangunan ilmu pengetahuan semakin nyata dan signifikan dalam memecahkan persoalan-persoalan bangsa, karena ilmu pengetahuan merupakan kekuatan riil yang paling absolut. Ini sesuai dengan filosofi modern sebagaimana dikatakan Francois Bacon, “Knowledge is power: Ilmu pengetahuan adalah kekuatan”.

     Pada aras ini, sekolah tinggi, institut dan universitas merupakan lembaga pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan akademik pada tingkat pendidikan tinggi. Pendidikan akademik dimaksud adalah pendidikan yang diarahkan pada penguasaan dan kedalaman ilmupengetahuan, terutama ilmu-ilmu hukum dan perundang-undangan Islam.Tujuan dari pendidikan akademik adalah menyiapkan peserta didik untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dalam menerapkan, mengembangkan, dan memperkaya khasanah keilmuan hukum dan perundang-undangan Islam, serta menyebar-luaskan dan mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.Dari hasil pendidikan akademik ini terdapat dua hal yang dapat dicapai, yaitu siap menjadi anggota masyarakat yang berkesadaran hukumserta dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan ekonomi.

     Secara teoritis, kemampuan bersikap, berpikir, dan bertindak secara konsisten sebagai perwujudan dari pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dimiliki seseorang disebut kompetensi. Dalam konteks ini keberhasilan seseorang menjadi anggota masyarakat dan peningkatan taraf hidup kearah yang lebih baik ditentukan oleh kompetensi yang dimilikinya itu. Semakin banyak kompetensi yang dimiliki seseorang maka tingkat keberhasilan menjadi anggota masyarakat dan taraf hidup akan semakin tinggi. Karenaitu, salah satu faktor yang dominan meminimalisir tingkat pelanggaran hukum dan pengangguran adalah menciptakan kompetensi yang dimiliki oleh sebagian anggota masyarakat.

     Sebagai suatu lembaga pendidikan tinggi Islam yang telah eksis lebih dari 40 tahun (berdiri sejak tahun 1967), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol yang kemudian sejak tahun 1997 berubah menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Sjech. M. Djamil Djambek,danpadatahun 2014, perguruanTinggiinialih status menjadiInstitut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, lembagaini merasa terpanggil untuk memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan bangsa menuju masyarakat yang lebih beradab, berkesadaran hukum dan  lebih sejahtera. Maka, dalam mewujudkan idealisme ini, IAIN Bukittinggi, berketetapan hati untuk membuka program Pascasarjana Magister Agama. Program ini merupakan bagian tak terpisahkan dari program pendidikan strata dua dan tiga yang bernaung di bawah Departemen Agama Republik Indonesia, serta tidak terlepas dari kerangka pendidikan Nasional secara keseluruhan.

     Program pascasarjana IAIN Bukittinggi memiliki nilai strategis dan merupakan investasi futuristik yang riil dan sangat bermanfaat. Pertama, untuk memacu percepatan peningkatan kualitas dosen-dosen STAIN, IAIN, STAIS dandosen-dosen perguruan tinggi umum yang mengajar bidang studi ke islaman di Bukittinggi dan secara umum di wilayah Sumatera Barat dan sekitarnya. Kedua, dalam rangka memberi kesempatan kepada para alumni untuk meningkatkan pengetahuan keislaman mereka secara lebih kritis dan metodologiS sebagai calon peneliti dan pendidik yang berkualitas lebih baik. Ketiga, guna menjadikan Bukittinggi dan Sumatera Barat secara umum sebagai salah satu pusat keunggulan kajian keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan. Kebutuhan akan adanya program pascasarjana saat ini bagi masyarakat Kota Bukittinggi, Kabupaten Agam serta Sumatera Barat pada umumnya, merupakan kebutuhan yang sangat Mendesak.

Leave a Reply